Terminologi
istilah “nepotisme” terambil dari kata nepos dan otis yang berarti cucu
laki-laki, keturunan atau saudara sepupu (WJS Poerwadarminta). Dalam buku “Kamus Besar Bahasa Indonesia” yang diterbitkan
oleh Departemen Pendidikan Nasional kata “nepostime” kemudian mengalami
perluasan arti: pertama, perilaku yang memperlihatkan kesukaan berlebihan
kepada kerabat dekat. Kedua, kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan)
sanak saudara sendiri terutama dalam jabatan, atau pangkat dalam lingkungan
pemerintah. Ketiga, tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk
memegang jabatan pemerintahan (urusan publik).
Nepotisme
dalam organisasi pemerintahan merupakan hal sering kita ditemukan khususnya di
pemerintahan daerah, hal ini terjadi ketika di daerah masih kental dengan nilai
kekerabatan, sehingga dalam pengambilan keputusan atau penempatan pegawai lebih
banyak mempertimbangan masukan kepentingan keluarga. Mulai dari jabatan
sekretaris daerah, kepala dinas, kepala bagian, sampai unsur pemerintah desa/kelurahan
tidak lari jeratan kepentingan keluarga.
Penulis
banyak mendapatkan keluhan dari orang-orang yang memegang teguh paham nepo ini,
saat keluarga lainnya tidak diberikan jabatan tinggi karena Kepala Daerahnya
adalah bagian dari keluarga mereka, akhirnya disebut tidak peduli dengan
keluarga. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa paham ini telah lama berkembang
sejak manusia membentuk satu keluarga maka keterikatan keluarga sangatlah kuat.
Paham
ini masih banyak didapatkan pada masyarakat pedesaan yang sifat kekerabatannya
masih kental atau masyarakat kota yang masih kuat ikatan kekerabatannya.
Disinilah potensi adanya nepotisme tumbuh subur, mulai dari Kepala Daerah, Camat,
Kepala Desa, Lurah sampai Kepala Dusun selalu memasukan/memperjuangkan anggota
keluarganya. Alasannya klasik “siapa sih yang mau melihat kita, kalau bukan
keluarga” saat sakit, kena musibah, bencana atau kondisi sedang jatuh terpuruk,
maka keluargalah yang berada dibarisan pertama dan utama memberikan
pertolongan, disamping itu agar segala kepentingan mereka yang berhubungan
dengan pemerintah cepat terselesaikan, dan bahkan proyek-proyek di tingkat
kota/kabupaten, kecamatan atau desa inginnya dikuasai oleh keluarga mereka,
maka keluarga lainpun merasa cemburu/iri bahkan menimbulkan dendam dan suatu
hari nanti mereka akan membalasnya saat keluarganya mendapatkan menjabat
sebagai pimpinan di kabupaten/kota, kecamatan atau desa.
Memang
di Indonesia susah memberantas penyakit yang satu ini, karena paham ini sudah
berakar kuat didalam kepercayaan dan prinsip hidup masyarakat. Berbeda dengan
perbuatan korupsi yang dicegah dan diberantas dengan membentuk lembaga
tersendiri yang diberi nama Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK.
Pertanyaan
yang muncul kemudian, kenapa tidak sekalian dibentuk lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KPKKN), padahal dalam teori
tentang reformasi birokrasi, salah satu yang menyebabkan terjadinya perilaku
korup para pejabat adalah tindakan nepotisme dan kolusi, makanya disebut KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)? Jawabannya adalah perbedaan persepsi dan
kepentingan para pemangku jabatan tentang nepotisme masih mewarnai setiap
kebijakan negara, bahkan pemaknaan nepotisme sering dikaburkan karena susahnya
memisahkan kepentingan keluarga dan publik dalam setiap kebijakan.
Memutuskan
mata rantai nepotisme bukanlah memutuskan tali keluarga, karena dalam
organisasi pemerintah harusnya menghindari tindakan memasukan unsur kekerabatan
yang berpotensi mengesampingkan kualitas sumber daya manusia dalam organisasi
sehingga melahirkan spoil system (sistem penempatan berdasarkan kekerabatan/kedekatan)
yang tidak sehat dalam meningkatkan kinerja organisasi, berbeda dengan
perusahaan swasta kebanyakan didirikan karena investasi keluarga. Dalam
instansi pemerintah yang selalu dipandang dan diutamakan akan prinsip equality
(persamaan derajat) atau persamaan dalam memberikan pelayanan dan menempatkan
orang-orang sesuai dengan keahliannya yang sering dikenal the right man, on the right place (orang yang benar, pada tempat
yang benar), the right man, on the right
job (orang yang benar, pada pekerjaan yang benar). Inilah yang seharusnya
menjadi pertimbangan seorang policy
makers dalam mengambil keputusan untuk kepentingan publik.
Kalau
kita mengaitkan antara korupsi, kolusi dan nepotisme, ibarat kata “korupsi
layaknya buah, kolusi adalah rantingnya, dan nepotisme adalah pohonnya. Maka
selama ini penegak hukum atau persepsi masyarakat hanya fokus memberantas buah
korupsi hasil dari kolusi dan nepotisme, artinya usaha yang selama ini kita
lakukan akan terus berulang karena sumber dari korupsi (pohon dan ranting)
masih tetap tumbuh subur, maka tinggal menunggu musimnya akan muncul kembali
buah beracun tersebut.
Menghancurkan
dinasti nepotisme itu sendiri lebih susah daripada menghancurkan korupsi, jikalau
korupsi seperti menghabiskan buahnya dengan sekali tebas atau goyang maka buah
tersebut akan jatuh berhamburan, tetapi nepotisme seperti menebang pohon yang
sudah berumur puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun lamanya, lantaran tuanya,
pohon tersebut berhantu sehingga banyak yang ketakutan menebangnya karena mitos
akan diserang oleh roh-roh nenek moyang yang bersemayang dalam pohon tersebut,
dan orang-orang yang berani menebang pohon nepotisme adalah bentuk pengkhianatan
terhadap keluarga, ini persepsi yang salah.
Kesalahpahaman
mengartikan makna kekerabatan dalam kontek sosiologis dan nepotisme dalam
konteks birokrasi pemerintahan menjadikan salah pula menerapannya, artinya
menempatkan posisi keluarga tidak pada konteks yang baik dan tepat. Bagi
penulis paham nepotisme tidak boleh tumbuh subur di lingkungan organisasi
pemerintahan bahkan jikalau ada pohon tersebut harus ditebang agar tidak berakar
menjadi budaya yang melekat dalam organisasi tersebut.
Menumbuhkan
pohon profesionalisme dalam birokrasi adalah tuntutan agar kinerja lebih
optimal, profesionalitas tidak mengenal keluarga, sanak saudara, dan keturunan,
tetapi siapa saja yang bekerja baik, berkualitas dan rajin maka disitulah letak
penilaiannya. Timbul pertanyaan, bagaimana jikalau ada keluarga yang bekerja profesional?
Jawabannya bukan aspek keluarganya yang dinilai tetapi profesionalitasnya dalam
bekerja.
Pembaca
yang budiman, janganlah jadikan nepotisme menjadi pohon dalam birokrasi yang
susah dicabut bahkan ditebang, jadikanlah mereka (keluarga) seperti bunga
matahari yang tumbuh sejajar, mudah dicabut dan ditata sama dengan bunga yang
lain (bunga mawar, anggrek, asoka, almanda, kenanga, bougainvillea, candytuft,
cosmo dan lain-lain), jikalau keluarga diposisikan seperti bunga matahari yang
berjejer dengan bunga yang lain, maka akan terasa nampak menawan dipelupuk
mata, indah di hati sanubari bagi yang merasakannya.
Semoga
dengan tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam membenahi manajemen birokrasi
maupun segala hal yang berhubungan terhadap pemerintahan karena pemerintah
lahir untuk kepentingan semua masyarakat tanpa membedakan ras, suku, keturunan,
agama, golongan demi tercipta kehidupan negara/daerah yang adil dan bermatabat.
Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar