Dewasa
ini kita selalu disuguhkan dengan segala perdebatan dalam berbedaan yang secara
tidak sadar sedang menciptakan ancaman runtuhnya kehidupan dalam kerukunan dan
toleransi antar warga sekampung, sedaerah maupun dengan daerah lain. Padahal
nenek moyang kita sudah mengunci kata persatuan itu dengan ikrar / sumpah
pemuda (Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa) dan Slogan Bhineka Tunggal Ika
(berbeda-beda tetapi satu jua). Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh. Ikrar
dan slogan-slogan ini merupakan manifestasi dari nilai persatuan dan kesatuan
bangsa yang dirangkai dalam bingkai NKRI.
Kini
nilai-nilai di atas mulai punah oleh sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung ditambah lagi perilaku rakyat yang terkesan belum siap berdemokrasi.
Salah satu problem pemilihan kepala daerah dihadapi sekarang adalah munculnya
isu tentang “putra daerah” yang selalu menjadi senjata ampuh untuk menyerang calon
yang lahir di daerah lain, yang biasa disebut “bukan putra daerah”.
Pilkada
di wilayah Sultra khususnya Kabupaten Buton dan Buton Selatan merupakan daerah
yang paling banyak memperdebatkan tentang putra daerah dan bukan putra daerah,
hingga muncul ungkapan bahwa “mereka (bukan putra daerah) akan menjajah dan
menguasai daerah kita”, “hanya putra daerah yang bisa membangun daerah kami”
“jangan pilih yang bukan putra daerah”, dan pada akhirnya muncul kebencian
terhadap orang-orang yang dianggap bukan putra daerah. Inilah benih-benih
lahirnya Sindrom Xenofobia.
Xenofobia
berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua suku kata yaitu xenos artinya
orang asing dan phobos artinya rasa takut. Secara harfiah diartikan sebagai
rasa takut yang tidak masuk akal, ketidakpercayaan, atau kebencian terhadap
orang asing, atau apa yang dirasakan sebagai asing atau berbeda. Penyakit ini
dapat dikategorikan sebagai penyakit psikologi sosial, yang merasa takut dan
benci dengan sesuatu di luar keberadaan mereka, baik agama, budaya, bahasa,
suku dan lain-lain yang dianggap bukan bagian dari mereka sendiri.
Xenofobia
pertama kali yang dikenal sejak munculnya isu Apartheid di Afrika Selatan pada
tahun 1961, saat itu bangsa kulit putih melakukan diskriminasi dan penindasan
terhadap bangsa kulit hitam (keturunan Afrika), dalam bidang apapun mereka
tidak diberikan jabatan tinggi hanya menjadi pesuruh atau budak dari bangsa
kulit putih. Setelah Nelson Mandela menjadi Presiden di negara ini selama 5
(lima) tahun, beliau berhasil membumi hanguskan isu-isu diskriminasi ras
tersebut, dan akhirnya ras kulit hitam mempunyai kesempatan yang sama dengan
ras kulit putih dalam mendapatkan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Kini
Xenofobia telah melanda negeri yang tercinta ini, setelah diberikannya hak otonomi
daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah mulailah bertebaran mengenai
isu putra daerah dan bukan putra daerah. Inilah patologi sosial yang dilahirkan
untuk mendiskriminasi orang-orang pendatang dari daerah lain dan yang lebih
parahnya lagi sesama suku pun masih mengangkat isu ini.
Penulis
memberi contoh di dua daerah yang akan melaksanakan hajatan pemilihan kepala
daerahnya yaitu Kabupaten Buton dan Kabupaten Buton Selatan, yang notabene
semua pasangan ingin menjadi kepala daerah merupakan satu suku yaitu Suku Buton
yang dulunya merupakan salah satu Negara Kesultanan besar di Nusantara yang
terdiri atas 72 kadie dan 4 barata, tetapi kasihan beribu kasih, masih ada
oknum-oknum fanatik buta yang mengatakan bukan putra daerah, dengan alasan
bahwa mereka terlahir di daerah lain. Betapa memilukan orang-orang yang lupa
dengan sejarahnya dan ikrar orang Buton “Poromu Yinda Sangu, Poga Yinda Kolota”
(Bersatu tidak Berpadu, Berpisah tidak Berantara), kita satu Buton yang membedakan
tempat tinggal, meskipun kita berpisah tetapi tetap bersaudara. Jangan sampai
kita seperti pepatah “Bagai ayam kehilangan induknya”, yang tidak tahu siapa
orang tua dan nenek moyangnya dulu..!
Isu
putra daerah merupakan gejala Xenofobia sama buruknya dengan isu Apartheid yang
dilawan oleh Nelson Mandela, karena beliau memahami betul dampak negatif dari
diskriminasi yang berbeda ras tersebut. Sekarang kita sedang membangkitkan
kembali masalah lama yang bisa berakibat pada rasa saling membenci sesama anak
bangsa.
Jangankan
calon yang lahir di Pulau Buton, bahkan yang lahir di Aceh, Jawa dan Irian pun
masih tetap putra daerah yang lahir dan besar di tanah tumpah darah, tanah air
Indonesia. Yang kita pilih adalah orang-orang yang melakukan perubahan untuk
daerah, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pembangunan, menumbuhkan sektor
pariwisata, budaya, ekonomi, menata daerah, tata kelola kepegawaian, menghapus
korupsi dan pengangguran, serta menghapus kejahatan kemanusiaan lainnya.
Masih
banyak kita membicara tentang sosok calon pemimpin daerah, kenapa kita terjebak
pada masalah lama yang tidak ada manfaat untuk kebaikan bersama?. Kita
seharusnya berpikir maju setara dengan daerah lain dengan melihat program kerja
apa yang mereka tawarkan, bagaimana strategi melaksanakannya, kiat-kiat apa
yang dibangun untuk mengurangi permasalahan yang ada di daerah, dan masih
banyak lagi..!
Wahai
pemuda, sadarlah bahwa perbedaan itu adalah rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan
menciptakan kita dengan segala perbedaan suku, bahasa, warna kulit, muka, dan
agama agar kita saling mengenal dan saling mencintai satu dengan lainnya.
Demikian
tulisan ini saya persembahkan untuk sesama anak bangsa Indonesia! Wassalam.
Komentar
Posting Komentar